MBOK BERUK YANG MEMBAWA BERKAH


KLIK - DetailSudah sejak bocah ibu tujuh anak ini menggeluti seni ketoprak. Ia tenar sebagai tokoh Mbok Beruk dalam acara Angkringan yang ditayangkan TVRI Yogya bertahun-tahun. Belakangan ia makin tenar setelah terlibat dalam acara Pasar Rakyat di Indosiar.

Anda sudah lama ya, bergelut dengan seni peran?
Benar, sejak masih sekolah rakyat (sekarang SD, Red.). Waktu itu, saya sudah sering ikut bapak saya, Padmodiharjo alias Kapuk, seniman ketoprak kondang dari Yogya berpentas di mana-mana. Tiap pentas, Bapak kebagian peran ndhagel (melawak, Red). Kalau enggak diajak, saya jadi ngambek. Itulah awalnya saya suka ketoprak.
Apa, sih, menariknya seni ketoprak bagi Anda?
Mungkin karena darah seni Bapak mengalir deras pada saya. Pernah, lho, saking ingin nonton ketoprak, diam-diam saya nyusul Bapak ke tempat pentas. Orang serumah sampai kelabakan mencari saya
Dari sekadar nonton, akhirnya Anda jadi pemain, ya?
Iya. Ceritanya, teman Bapak perlu pemain anak-anak. Saya pun dites. Ternyata saya bisa. Dari sanalah bakat saya terlihat. Mulanya saya cuma nari.
KLIK - DetailBagaimana rasanya boleh ikut berpentas?
Wah, seneng banget. Makanya saya main terus sebaik-baiknya, apa pun peran yang diberikan sutradara. Setelah remaja saya, sering dapat peran ndhagel seperti Bapak. Biasanya, jadi Mbok Emban peghibur putri raja yang sedang gundah. Honornya Rp 500. Untuk ukuran remaja saat itu, banyak sekali.
Pernah di-casting jadi putri bangsawan?
Saya tahu dirilah. Mosok wajah “minim” begini mau jadi putri? Makanya sama sutradara, saya selalu dikasih peran ngelawak. Saya juga enggak pernah nolak.
Selain ketoprak, kesenian apa saja yang Anda geluti sejak kecil?
Saya berlatih menari klasik di Dalem Tejokusuman. Sampai sekarang saya masih bisa, lho, menari klasik dan kreasi baru. Begitu juga nembang. Dulu saya sering menari Gambyong dan Gambir Anom untuk perhelatan perkawinan.
Sering berpentas apa sekolah enggak terganggu?
Awalnya, main cuma pas libur sekolah. Tapi lama-lama jadi keseringan. Jelas, sekolah jadi enggak beres. Makanya saya cuma sampai SMP. Sebelumnya, Bapak mengultimatum saya sambil marah, “Pilih sekolah atau main ketoprak?!” Saya pilih ketoprak. Bapak bilang, kalau itu pilihan saya, ya harus jadi pemain yang bagus.
Bagaimana perjalanan karier Anda?
Saya main dari tobong satu ke tobong lainnya. Tahun 1967, saat umur 16 tahun, saya disunting almarhum Yusuf Agil, bos grup ketoprak Darmowanda dari Ungaran (Jateng). Dialah yang banyak mengajarkan pengetahuan seni ketoprak. Dia bukan hanya suami, tapi juga guru sekaligus ayah bagi saya.
Sayang, tahun 1983 kami cerai karena dia nikah dengan perempuan lain. Lalu saya ajak lima anak perempuan saya ke rumah orang tua saya di Yogya. Waktu itu, Bapak sudah jadi karyawan kontrak di RRI Yogya. Tugas utamanya apalagi kalau bukan main ketoprak.
Apa reaksi orang tua dengan perceraian Anda?
Bapak menyarankan agar saya melamar ke RRI. Saran itu saya turuti untuk meredam hati yang luka. Lama-lama motivasinya jadi lain. Saya ingin melestarikan seni ketoprak. Alhamdulillah, tahun 1985 saya sudah jadi pegawai negeri yang dikaryakan di RRI.
Seperti Bapak, saya juga pemain ketoprak RRI. Oleh penggemar ketoprak, saya diberi nama Klentheng, yang artinya biji kapuk. Dari sana saya terus mendalami seni peran. Bahkan, saya mulai melangkah ke dunia sinetron. (Yuningsih menikah lagi dengan Santoso, sesama pemain ketoprak dan dikaruniai dua anak, lelaki dan perempuan).
Berapa jumlah sinetron yang Anda bintangi?
Sudah 30-an. Tahun 1995, saya berhasil memperoleh Piala Vidia sebagai pemeran terbaik dalam sinetron Topeng Sang Kekasih produksi TVRI Yogya. Tahun yang sama, saya jadi pemeran terbaik acara Pertunjukan Rakyat di Bandung.
Di antara sinetron yang saya bintangi, saya terkesan saat main Panggung Sandiwara yang disutradarai Mas El Manik dan diproduksi Persari Film. Semua pemainnya kompak. Saya juga terkesan karena jadi tokoh yang semeleh.
Setelah dapat penghargaan, honor jadi naik dong?
Oh, saya enggak pernah naikin honor. Pasang tarif pun enggak. Saya tak pernah merasa sudah jadi artis sukses. Tapi kalau honor saya dinaikkan, ya tentu saya senang.
Di kawasan DIY dan Jateng, Anda lebih dikenal sebagai Mbok Beruk. Kenapa bisa begitu?
Nama itu pemberian Drs. Kristiadi, sutradara acara Angkringan di TVRI Yogya. Dalam acara obrolan itu, saya memerankan tokoh Mbok Beruk. Sosok ini menggambarkan perempuan Yogya yang kurang punya toleransi, tinggi hati, dan sok tahu. Acara tersebut sudah disiarkan 5 tahun dan tetap digemari, lho.
Gara-gara acara itu, masyarakat memanggil saya dengan nama Mbok Beruk. Nama Klentheng jadi tak terdengar lagi. Sebagai seniman, saya ikhlas dapat julukan itu. Toh nama itu membawa berkah. Untungnya lagi nama itu boleh saya pakai di luar kegiatan acara Angkringan.
Masih main ketoprak di RRI?
Masih. Tiap Kamis saya siaran rutin ketoprak. Senin malam ikut acara Pangkur Jenggleng. Saya juga dipercaya jadi pengarah acara bagi grup-grup kesenian yang mau rekaman di RRI untuk siaran kesenian daerah. Bahkan, ketika Deppen masih ada, saya ikut pentas dari panggung ke panggung di seluruh kecamatan di Yogya untuk penyuluhan pada masyarakat.
Sebagai pegawai Negeri masih bisa ya pentas di luar kantor?
Sepanjang tidak ada kegiatan di kantor, boleh saja. Toh, tiap saya pentas, nama RRI terus terbawa. Lagi pula, ada izin dari atasan. Tapi kalau sampai ke luar kota syuting teve atau sinetron, ya saya cuti. Sebagai pegawai negeri, saya tahu diri-lah. Bagaimanapun, RRI telah turut membesarkan nama saya.
Apa enaknya jadi pemain ketoprak di RRI?
Enaknya, mau peran apa pun saya bisa. Jadi anak-anak hingga nenek tak ada masalah. Sebab pendengar enggak melihat kita. Mereka, kan, bisa dikelabui dengan suara. Ha ha ha…
Sekarang Anda jadi makin beken, ya, setelah ikut Pasar Rakyat bersama Butet Kartaredjasa dan Jaduk Ferianto yang ditayangkan Indosiar?
Ah, sebatas free-lance kok. Saya ikut karena diajak Indosiar, bukan diajak Mas Butet. Saya senang bermain dalam acara itu karena saya bisa bermain dengan artis lain.
Selama melawak, pernah gagal melucu?
Oh, pernah. Saat itu saya dan teman-teman melawak di jamuan pesta pengantin. Acaranya standing party. Bayarannya pun gede. Tapi melawak kayak apa pun enggak ada yang tertawa. Wah, sampai di rumah saya enggak bisa tidur karena merasa gagal. Padahal sebelum kami pulang, tuan rumah berulang kali berterima kasih karena kami dibilang sukses. Buktinya, hidangan yang mereka sediakan ludes disantap tamu undangan. He he he…
Sehari-hari Anda juga lucu ya?
Wah, entah ya. Orang lain yang menilai. Yang jelas, kalau di rumah, saya ini presiden. Saya yang pegang kendali pemerintahan di rumah.
Selain bergelut di bidang seni, apa hobi Anda?
Saya senang menjahit dan merias pengantin. Dua hobi ini seringi mendatangkan uang.
Apa yang Anda hasilkan dari dunia seni?
Alhamdulillah, lima anak saya dari suami pertama sudah jadi sarjana. Mereka sudah menikah dan hidup mandiri. Anak sulung saya, Lisa Prawestriningsih kini menjadi wartawan BBC di London. Lainnya ada yang jadi perajin dan seniman, nuruni bakat saya. Sedangkan bungsu dari suami yang sekarang masih SMP.
Ada keinginan jadi sutradara atau produser?
Enggak, ah. Saya mau fokus jadi pemain saja. Cuma saya senang memberi dukungan dan fasilitas pada grup ketoprak untuk anak-anak muda di Yogya. Kebetulan Wawan Kurniawan, anak saya dari suami kedua, kini membentuk grup atau Perkumpulan Muda Yogya yang kegiatannya adalah ketoprak dan teater. Perkumpulan ini anggotanya terdiri dari mahasiswa dari berbagai universitas di Yogya. Mereka saya izinkan latihan di rumah saya.

Sumber: Majalah Nova

About sukobudoyo

Berbicara apa adanya.. Menyukai budaya jawa

Posted on 29 November 2012, in Berita, Budaya Jawa, Budaya Jawa, Jogjakarta and tagged , , , , . Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.

Tinggalkan komentar