Category Archives: Tokoh
Film Dokumenter – Sejarah Gereja dan Candi Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran
Gereja Hati Kudus Yesus merupakan gereja Katolik Roma di Ganjuran, Bantul, Indonesia. Gereja ini juga dikenal dengan nama Gereja Ganjuran, berdasarkan tempat letaknya. Gereja ini merupakan gereja tertua di Bantul.
Gereja Ganjuran didirkan pada tanggal 16 April 1924 oleh keluarga Schmutzer, yang memiliki sebuah pabrik gula di wilayah itu. Dari jumlah 25 orang Katolik di Ganjuran pada tahun 1922, pada tahun 2011 sudah ada 8.000. Gedung gereja sudah banyak diubah, termasuk dibangun ulang setelah Gempa bumi Yogyakarta 2006. Banyak orang sudah menulis tentang desainnya yang beraliran Jawa, dan gereja ini terus memasuki budaya Jawa dalam liturgi.
Gereja Ganjuran terletak di Ganjuran, Bambanglipuro, Bantul, 17 kilometer di sebelah selatan kota Yogyakarta. Gereja ini dibangun di tanah seluas 2,5 hektar dan termasuk tempat parkir, candi, gereja, pastoran, dan beberapa bangunan lain. Pada tahun 2011 ada sebanyak 8.000 anggota; sebagian besar merupakan petani, pedagang, dan buruh.
Gedung gereja dibuat dengan gaya joglo dan dihiasi dengan ukiran gaya Jawa yang menutupi 600 meter per segi. Ini termasuk ukiran nanas dari kayu serta ukiran berbentuk jajar genjang yang disebut wajikan. Altarnya dihiasi dengan malaikat yang berbusana tokoh wayang orang. Karena gaya arsitektur ini, ilmuwan Belanda M. C. Ricklefs menyatakan bahwa gereja di Ganjuran mungkin merupakan manifestasi penyesuaian gereja Katolik di Jawa yang paling menonjol. Ilmuwan Jan S. Aritonang dan Karel A. Steenbrink menyatakan bahwa gereeja merupakan “produk paling spektakular … dari kesenian pribumi yang dibantu orang Eropa.”.
Tanah yang sedang digunakan untuk gereja Ganjuran dulunya bagian dari pabrik gula milik saudara Joseph dan Julius Schmutzer, dua orang Belanda. Pada tahun 1912 mereka mulai menjaga hak buruh sebagaimana ditentukan dalam Rerum Novarum; mereka juga mulai mendirikan sarana pendidikan di wilayah tersebut, dengan tujuh sekolah untuk laki-laki dibuka pada tahun 1919 dan sekolah perempuan dibuka pada tahun 1920. Mereka juga mendorong staff mereka untuk masuk agama Katolik. Dengan hasil dari pabrik mereka, keluarga Schmutzer mendirikan Ruma Sakit St Elisabeth Hospital di Ganjuran. Mereka juga mendirikan Onder de Bogen (kini Rumah Sakit Umum Panti Rapih) di kota Yogyakarta. St Elisabeth sedang diurus oleh Orda Carolus Borromeus.
Juga pada tahun 1920, Pr. van Driessch, seorang Yesuit yang pernah mengajar di Kolese Xaverius di Muntilan, mulai berkhotbah di Ganjuran dan mendirikan komunitas Katolik di sana. Hingga tahun 1922 ada sebanyak 22 orang Katolik keturunan Jawa di sana; jumlah ini meningkat dengan cepat. Pada tanggal 16 April 1924 keluarga Schmutzers mendirikan gereja di tanah mereka, dengan van Driessch sebagai pastor pertama. Ukiran dan bagian gereja lain dikerjakan oleh seorang seniman Jawa yang bernama Iko
Tiga tahun kemudian masyarakat mulai membangun sebuah candi setinggi 10 meter, mirip candi yang ada di Prambanan; Iko membuat patung Maria dan Yesus yang menggambarkan mereka sebagai penguasa dan guru Jawa. Patung ini diukir dengan motif batik.Batu diambil dari kaki Gunung Merapi di bagian utara, sementara pintu masuk diarahkan ke Selatan; orientasi ini mencerminkan kepercayaan orang Jawa pada harmoni utara dan selatan. Candi ini diresmikan pada tanggal 11 Februari 1930 oleh Uskup Batavia Antonius van Velsen.
Van Driessch meninggal pada tahun 1934 dan diganti oleh Pr. Albertus Soegijapranata; Soegijapranata bertugas sekalian sebagai pastor Ganjuran dan Bintaran. Pada tahun ini jumlah orang Katoliknya sudah mencapai 1.350 orang. Keluarga Schmutzer kembali ke Belanda pada tahun yang sama. Selama Revolusi Nasional Indonesia pabrik gula dibakar habis, tetapi sekolah, gereja, dan rumah sakit selamat. Pada tahun 1947 Pr. Justinus Darmojuwono mulai menjabat; dia menjadi pastor sampai tahun 1950.
Pada tahun 1981 pastoran diperluas di bawah Pr. Suryosudarmo, dan tujuh tahun kemudian, di bawah Pr. Gregorius Utomo, gereja ini mulai lebih menekankan pengaruh Jawanya. Pada tahun 1990 Konferensi Federasi Uskup Asia mengadakan sebuah seminar mengenai masalah pertanian dan petani di Gereja Ganjuran. Sejak 1995 Gereja lebih menekankan pembangunan candinya, dan dengan sumbangan dari masyarakat sudah menambahkan 15 relief yang menggambarkan Jalan Salib; relief ini awalnya dirancang oleh keluarga Schmutzer. Setelah gereja lama dihancurkan oleh gempa bumi besar pada bulan Mei 2006, gereja ini dibangun ulang dengan gaya Jawa.Pembangunan ulang ini menghabiskan sebanyak Rp 7 miliar.
Link Unduh Video Sejarah Gereja dan Candi Ganjuran
Kraton Jogjakarta
Sampai daerah divisi disetujui dalam Perundingan Gijanti, kerajaan Mataram yang didirikan Pangeran Senopati pada tahun 1587, merupakan kekuatan yang dominan di Jawa Tengah. Kerajaan Mataram berpindah lokasi beberapa kali selama pemerintahan Senopati dan keturunannya, dan pada tahun 1745 berada di Surakarta (Solo)
Sebagai kelanjutan dari pertikaian yang terjadi di antara pemerintah Surakarta, Pakubuwono III dan paman tirinya, Pangeran Mangkubumi, pemerintah Belanda menengahi dengan menyetujui perjanjian yang isinya mengangkat Mangkubumi sebagai pemimpin kerajaan terpisah, tetapi memiliki kekuasaan yang sama, yang berpusat di Yogyakarta. Mangkubumi, yang memakai gelar Hamengkubuwono I, pada tahun 1756, membangun istana yang besar bernama Ngayogyakarta Hadiningrat.
Kraton berada di lokasi yang sangat luas, yang karena luasnya dapat digambarkan sebagai kota tertutup. Selain ada bnagunan di dalamnya, daerah ini dikelilingi oleh dinding yang kokoh seperti benteng dan dibangun pada tahun 1785, untuk daerah yang tertutup tersebut dibangun tempat para pegawai kerajaan, abdi dalem, para keluarga bangsawan lainnya yang kurang terkenal di lingkungan kraton. Tempat ini sekarang terdiri atas desa-desa di dalam kraton tempat berpangkalnya seniman dalam gang-gang sempit yang berprofesi sebagai pembuat batik dan pelukis.
Kraton terdiri atas beberapa bangunan, dinding, da taman, yang tersusun dari utara ke selatan dan mempunyai alun-alun di kedua akhir bangunan. Pendopo utama dan ruang singasana, bangsal kencono, yang terletak di tengah kraton, mempunyai atap joglo, yang disangga oleh tiang berukir. Di belakang Pendopo terdapat Bangsal Proboyekso tempat disimpannya benda pusaka kraton. Di seberang Bnagsal Proboyekso terdapat tempat keluarga kerajaan, yang didiami oleh Sultan yang sekarang. Tempat ini tertutup untuk umum. Kesantrian, tempat tinggal pangeran pangeran yang belum menikah, terletak di bangunan yang laus di belakang kandang kuda.
Di belas tempat kereta kraton, yang terletak di pinggir taman utama, terdapat koleksi kereta-kereta kerajaan dan kendaraan lain yang ditarik kuda, term
asuk kereta jenasah kerajaan yang terbuat dari kaca. Koleksi peralatan kerajaan yang lengkap dan benda-benda kraton, yang terdapat di Musium Sono Budoyo di sudut barat laut dari alun-alun utara, dibangun pada tahun 1935 oleh Hamengkubuwono VIII. Di bagian barat alun-alun terdapat Mesjid Ageng, yang dibangun pada tahun 1773.
Di taman utama kraton terdapat pasir hitam dari pantai selatan Jawa, yang dotaruh untuk menghormati Nyai Loro Kidul, Raty Laut Selatan, yang izinnya dianggap prasyarat untuk membangun kraton. Hubungan dengan Nyai Loro Kidul ini terlihat lebih jelas di bangunan Taman Sari, yang dibangun oleh Hamengkubuwono I sebagai taman yang nyaman untuk tempat beristirahat.
Kisah Tokoh Alm. Ki Timbul Hadiprayitno
Ki Timbul Hadiprayitno lahir di Bagelen, Purworejo, pada 20 Juni 1934. Agamanya adalah Islam. Pendidikannya hanya sampai SR saja. Ia mempunyai 6 orang anak yang semuanya adalah dalang kecuali 1 orang putri. Ia adalah dalang yang terkenal dari Yogyakarata.
Sejak kecil ia telah belajar mendalang yang diperoleh dari orang tuanya. Timbul juga belajar kepada siapapun, antara lain kepada Ki Wiji Prayitno (ayah dari Hadi Sugito): Ki Kasmono, Kulon Progo tentang Sanggit; Ki Gondo Margono belajar mengenai sulukan; Ki Bancak tentang sabetan; dan Ki Narto tentang antawacana.
Beberapa kali ia terpilih sebagai dalang kesayangan oleh Radio-radio Swasta Niaga pada dekade 1980. Dari Keraton Kasultanan Yogyakarta, Ki Timbul mendapat anugerah nama Cermomanggolo. Awal tahun 1990, sebuah perusahaan multinasional, Mobil Oil, membuat proyek video mengenai pergelaran Wayang Kulit Purwo, Ki Timbul terpilih menjadi dalangnya karena dinilai sebagai dalang yang klasik.
Dalam garap pakeliran Ki Timbul sangat kuat dalam garap sabet, garap catur dan garap lakon. Ia juga mahir dalam mempergelarkan lakon-lakon banjaran yaitu cerita tentang riwayat hidup tokoh wayang. Dalam pergelaran wayang Timbul berusaha untuk menampilkan lakon, sanggit, sabet, dan gecul secara seimbang. Disamping itu, ia adalah dalang yang teguh dalam mempertahankan tradisi. Ki Timbul berani menolak jika penanggap menghendaki hadirnya bintang tamu. Dalam tradisi meruwat di kalangan masyarakat Jawa, Ki Timbul Hadiprayitno adalah salah satu dalang yang dituakan dan mampu untuk melaksanakan prosesi sakral tersebut. Kemampuan itu tidak banyak dimiliki oleh dalang-dalang lain.
Sebagai dalang terkenal Ki Timbul mempunyai jangkuan pentas yang luas, baik di dalam kota, propinsi, di luar Jawa, bahkan sampai keluar negeri. Frekuensi pentasnya dalam satu bulan sangat padat sekali, jika sedang ramai dalam satu bulan bisa lebih dari 40 undangan jika dituruti semuanya. Mengenai tarif dalam mendalang Timbul masih memberikan kelonggaran terhadap siapa yang menanggapnya. Untuk tarif di dalam kota dimana ia tinggal biasanya 10 juta cukup memadai.
Mengenai lakon yang menjadi favoritnya adalah menyesuaikan dengan trend masyarakat yang menanggap. Timbul pernah membuat sanggit lakon sendiri, yang kebanyakan adalah cerita tentang wahyu, antara lain: Wahyu Harjadah, Wahyu Kembang Slombo, Wahyu Panca Purbo, dan Wahyu Mustika Haji. Timbul memiliki kelomok karawitan sendiri, yang bernama Marsudi Budaya, jumlah anggaotanya kurang lebih 30 orang. Ia juga menulis buku-buku tetapi untuk kepentingan pribadi, antara lain mengenai lakon-lakon pedalangan, dan sulukan-sulukan.
Mengenai kiatnya menjadi dalang tenar adalah belajar baik secara lahir yaitu, kemampuan teknis pedalangan, membaca buku-buku pedalangan dan sumber-sumber lain. Dan secara batin, antara lain menjaga tingkah laku, antara ucapan dan tindakan harus sesuai.
Kisah lengkap silahkan dengarkan rekamana ini..
Mengenal Tokoh Pejuang Indonesia 1 – Mgr. Albertus Soegijapranata
Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ (Ejaan Yang Disempurnakan: Albertus Sugiyapranata; lahir 25 November 1896 – meninggal 22 Juli 1963 pada umur 66 tahun), lebih dikenal dengan nama lahir Soegija, merupakan Vikaris Apostolik Semarang, kemudian menjadi uskup agung. Ia merupakan uskup pribumi Indonesia pertama dan dikenal karena pendiriannya yang pro-nasionalis, yang sering disebut “100% Katolik, 100% Indonesia”.
Soegija dilahirkan di Surakarta, Hindia-Belanda, dari keluarga seorang abdi dalem dan istrinya. Keluarga Muslim itu lalu pindah ke kota Yogyakarta saat Soegija masih kecil, dan, karena diakui sebagai anak yang cerdas, pada tahun 1909 Soegija diminta oleh Pr. Frans van Lith untuk bergabung dengan Kolese Xaverius, suatu sekolah Yesuit di Muntilan. Di sana Soegija menjadi tertarik dengan agama Katolik, dan dibaptis pada tanggal 24 Desember 1910. Setelah lulus dari Xaverius pada tahun 1915 dan menjadi seorang guru di sana selama satu tahun, Soegija menghabiskan dua tahun belajar di seminari di Muntilan sebelum berangkat ke Belanda pada tahun 1919. Ia menjalani masa pendidikan calon biarawan dengan Serikat Yesus selama dua tahun di Grave; ia juga menyelesaikan juniorate di sana pada tahun 1923. Setelah tiga tahun belajar filsafat di Kolese Berchmann di Oudenbosch, ia dikirim kembali ke Muntilan sebagai guru; ia bekerja di sana selama dua tahun. Pada tahun 1928 ia kembali ke Belanda untuk belajar teologi di Maastricht, dan ditahbiskan pada tanggal 15 Agustus 1931. Setelah itu Soegija menambahkan kata “pranata” di belakang namanya. Pada tahun 1933 Soegijapranata dikirim kembali ke Hindia-Belanda untuk menjadi pastor.
Soegijapranata memulai keimamannya sebagai vikaris paroki untuk Pr. van Driessche di Paroki Kidul Loji, Yogyakarta, tetapi diberi paroki sendiri setelah Gereja St. Yoseph di Bintaran dibuka pada tahun 1934. Dalam periode ini ia berusaha untuk meningkatkan rasa ke-Katolikan dalam masyarakat Katolik dan menekankan perlunya hubungan yang kuat antara keluarga Katolik. Pada tahun 1940 Soegijapranata dikonsekrasikan sebagai vikaris apostolik dari Vikariat Apostolik Semarang, yang baru didirikan. Meskipun jumlah pemeluk Katolik meningkat setelah ia dikonsekrasikan, Soegijapranata harus menghadapi berbagai tantangan. Kekaisaran Jepang menduduki Hindia-Belanda pada awal tahun 1942, dan selama periode pendudukan itu banyak gereja diambil alih dan banyak pastor ditangkap atau dibunuh. Soegijapranata bisa lolos dari kejadian ini, dan menghabiskan periode pendudukan dengan mendampingi orang Katolik dalam vikariatnya sendiri.
Setelah Presiden Soekarno memproklamasi kemerdekaan Indonesia, Semarang dipenuhi dengan kekacauan. Soegijapranata membantu menyelesaikan Pertempuran Lima Hari dan menuntut agar pemerintah pusat mengirim seseorang dari pemerintah untuk menghadapi kerusuhan di Semarang. Biarpun permintaan ini ditanggapi, Semarang menjadi semakin rusuh dan pada tahun 1947 Soegijapranata pindah ke Yogyakarta. Selama revolusi nasional Soegijapranata berusaha untuk meningkatkan pengakuan Indonesia di dunia luas dan meyakinkan orang Katolik untuk berjuang demi negera mereka. Tidak lama setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, Soegijapranata kembali ke Semarang. Dalam periode pasca-revolusi ia banyak menulis mengenai komunisme dan berusaha untuk mengembangkan pengaruh Katolik, serta menjadi perantara beberapa faksi politik. Pada tanggal 3 Januari 1961 ia diangkat sebagai uskup agung, saat Tahta Suci mendirikan enam provinsi gerejawi di wilayah Indonesia. Soegijapranata bergabung dengan sesi pertama dari Konsili Vatikan II. Ia meninggal pada tahun 1963 di Steyl, Belanda dan jenazahnya diterbangkan kembali ke Indonesia. Ia dijadikan seorang Pahlawan Nasional dan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal, Semarang.
Soegijapranata sampai sekarang dihormati orang Indonesia, baik pemeluk Katolik maupun bukan. Berbagai biografi tentang ia sudah ditulis oleh berbagai penulis, dan pada tahun 2012 sebuah film biopik fiksi garapan Garin Nugroho, yang diberi judul Soegija, diluncurkan. Universitas Katolik Soegijapranata, sebuah universitas di Semarang, dinamakan untuk Soegijapranata.
Film “Satu Suro 1988”
Di awal film, di tengah sebuah hutan, arwah seorang wanita yang gentayangan berwujud sundel bolong dibangkitkan dari kuburannya oleh Ki Rengga, seorang dukun Jawa sakti untuk dijadikan anak angkatnya. Dukun Jawa itu berkata: “Suketi, manuta nduk, kowé arep takdadikké anak angkatku.” (“Suketi, menurutlah nak, engkau akan kujadikan anak angkatku”). Dia kemudian menancapkan paku keramat ke kepala Suketi (Suzanna), arwah penasaran tersebut, merapal mantera kuna berbahasa Jawa dan sundel bolong itu pun menjadi manusia kembali. Suatu hari dua orang pemuda dari Jakarta sedang berburu kelinci di hutan tersebut. Bardo Ardiyanto (Fendi Pradana), sang pemburu tersebut, bersama temannya Hari, nyaris membunuh buruannya, namun dihalangi oleh seorang wanita cantik, dia pun penasaran akan wanita tersebut dan akhirnya bertemu dengan Suketi. Bardo dan Suketi langsung saling jatuh cinta dan Bardo berniat melamar Suketi. Awalnya lamarannya ditolak oleh Ki Rengga, ayah angkat Suketi, namun akhirnya disetujui setelah permohonan Bardo yang tulus dan dorongan Suketi ke orang tua angkatnya. Bardo mengikuti syarat Ki Rengga, bahwa pernikahan harus diadakan pada “Malam satu Suro” (Tanggal 1 Sura, tahun baru dalam penanggalan Jawa) di tengah Alas Roban (“Hutan Roban”) tanpa dihadiri siapa pun kecuali sang dukun Jawa dan pasangan pengantin tersebut dalam sebuah adegan ritual mistik Jawa kuna yang diiringi tari-tarian peri.
Beberapa tahun kemudian Suketi dan Bardo hidup berkeluarga dengan bahagia di Jakarta dengan kedua anak mereka, Rio dan Preti. Keluarga mereka juga menjadi kaya raya karena konon bila menikahi Sundel bolong maka seseorang akan menjadi kaya raya. Suatu hari Joni, seorang pengusaha licik menawarkan perjanjian bisnis di kantor Bardo, namun ditolak karena taktiknya yang kotor. Joni menyimpan dendam dan berniat menjatuhkan Bardo. Joni datang ke Mak Talo, seorang dukun lain, dan mengetahui bahwa istri bardo dulunya adalah Sundel Bolong. Mak Talo dan Joni mendatangi rumah Bardo dan mencabut paku yang menancap di kepala Suketi, sehingga Suketi berubah menjadi Sundel Bolong kembali. Malamnya Bardo yang kebingungan menemui mertuanya di Alas Roban dan mengetahui latar belakang Suketi yang sesungguhnya. Suketi dulunya adalah seorang wanita muda yang mati bunuh diri setelah diperkosa dan hamil, arwahnya tidak beristirahat dengan tenang dan menjelma menjadi hantu Sundel Bolong yang penuh dendam. Setelah membalas dendam, dia kemudian dibangkitkan kembali oleh Ki Rengga untuk menjadi anak angkatnya.
Suketi yang sekarang kembali menjadi Sundel Bolong sangat sedih karena kehidupannya yang telah bahagia bersama keluarganya dirusak. Situasi bertambah tegang ketika Preti kemudian diculik oleh kawanan penjahat Joni yang berkomplot dengan dukun Mak Talo. Komplotan Joni meminta uang tebusan, namun dalam prosesnya, Preti terbunuh secara tidak sengaja oleh salah satu penjahat. Suketi menjadi marah besar dan mengamuk setelah tahu bahwa anaknya terbunuh. Sundel Bolong Suketi mulai melangsungkan balas dendamnya kepada komplotan penjahat tersebut dengan cara-cara yang kejam namun unik.
Suketi yang sedih berniat untuk kembali ke keluarganya, dia bermain piano dengan menyanyikan lagu “Selamat Malam” Vina Panduwinata, sehingga Rio dan ayahnya terbangun. Mereka dengan sedih berpisah dengan Suketi dan menyatakan bahwa alam mereka berbeda. Suketi kemudian berkata “Arwahku akan gentayangan sebelum dendamku terbalas” sebelum pergi. Suketi yang dirundung duka dan dendam kemudian menggali kuburan anak perempuannya, memasukkan jasad Preti ke sebuah peti mati bersama boneka kesayangan Preti, kemudian berjalan perlahan dengan menyeret peti mati tersebut dalam sebuah adegan yang diinspirasi film koboi Itali Django. Sundel Bolong Suketi kemudian mulai mengganggu masyarakat di sekitar kuburan tersebut dalam adegan-adegan yang seram namun lucu, yang pertama adalah seorang tukang bakpau Tionghoa-Indonesia yang sedang pulang dari berjualan. Korban keduanya adalah penyanyi dangdut Bokir yang berdandan ala John Lennon dan pengawal pribadinya Dorman Borisman yang dipancing untuk menyanyikan lagu “Tembok Derita” di kuburan. Setelah Bokir dan Dorman lari ketakutan, mereka kemudian meminta bantuan ojek dari seseorang yang tak lain adalah salah satu dari komplotan penjahat Joni. Bokir dan Dorman pingsan karena diikuti Sundel Bolong Suketi yang mengenal penjahat tersebut. Sundel Bolong Suketi kemudian membunuh satu persatu penjahat yang telah menghancurkan keluarganya. Akhirnya Suketi berhasil membalaskan dendamnya, bersamaan dengan sampainya Bardo, Rio, Ki Rengga dan masyarakat sekitar tempat tersebut. Dalam adegan sedih, Bardo dan Rio meyakinkan Suketi bahwa cintanya akan abadi walaupun Suketi kembali ke alamnya. Suketi menitipkan pesan kepada Bardo supaya menjaga Rio baik-baik, dan kepada Rio supaya kelak bisa menjadi orang yang berguna, dan Suketi menghilang diiringi kepulan asap kembali ke alam baka.
Nonton bisa disini
- Malam Satu Suro 1
- Malam Satu Suro 2
- Malam Satu Suro 3
- Malam Satu Suro 4
- Malam Satu Suro 5
- Malam Satu Suro 6
- Malam Satu Suro 7
- Malam Satu Suro 8
- Malam Satu Suro 9 (Akhir cerita)
Yang mau download downloadlah idm, Kangen saya dengan film ini terpenuhi…
Salut dengan Suzzanna