Category Archives: Tokoh

Film Dokumenter – Sejarah Gereja dan Candi Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran


Screenshot Studio capture #627

Gereja Hati Kudus Yesus merupakan gereja Katolik Roma di Ganjuran, Bantul, Indonesia. Gereja ini juga dikenal dengan nama Gereja Ganjuran, berdasarkan tempat letaknya. Gereja ini merupakan gereja tertua di Bantul.

Gereja Ganjuran didirkan pada tanggal 16 April 1924 oleh keluarga Schmutzer, yang memiliki sebuah pabrik gula di wilayah itu. Dari jumlah 25 orang Katolik di Ganjuran pada tahun 1922, pada tahun 2011 sudah ada 8.000. Gedung gereja sudah banyak diubah, termasuk dibangun ulang setelah Gempa bumi Yogyakarta 2006. Banyak orang sudah menulis tentang desainnya yang beraliran JawaScreenshot Studio capture #626, dan gereja ini terus memasuki budaya Jawa dalam liturgi.

Gereja Ganjuran terletak di Ganjuran, Bambanglipuro, Bantul, 17 kilometer di sebelah selatan kota Yogyakarta. Gereja ini dibangun di tanah seluas 2,5 hektar dan termasuk tempat parkir, candi, gereja, pastoran, dan beberapa bangunan lain. Pada tahun 2011 ada sebanyak 8.000 anggota; sebagian besar merupakan petani, pedagang, dan buruh.

Gedung gereja dibuat dengancats gaya joglo dan dihiasi dengan ukiran gaya Jawa yang menutupi 600 meter per segi. Ini termasuk ukiran nanas dari kayu serta ukiran berbentuk jajar genjang yang disebut wajikan. Altarnya dihiasi dengan malaikat yang berbusana tokoh wayang orang. Karena gaya arsitektur ini, ilmuwan Belanda M. C. Ricklefs menyatakan bahwa gereja di Ganjuran mungkin merupakan manifestasi penyesuaian gereja Katolik di Jawa yang paling menonjol. Ilmuwan Jan S. Aritonang dan Karel A. Steenbrink menyatakan bahwa gereeja merupakan “produk paling spektakular … dari kesenian pribumi yang dibantu orang Eropa.”.

Tanah yang sedang digunakan untuk gereja Ganjuran dulunya bagian dari pabrik gula milik saudara Joseph dan Julius Schmutzer, dua orang Belanda. Pada tahun 1912 mereka mulai menjaga hak buruh sebagaimana ditentukan dalam Rerum Novarum;  mereka juga mulai mendirikan sarana pendidikan di wilayah tersebut, dengan tujuh sekolah untuk laki-laki dibuka pada tahun 1919 dan sekolah perempuan dibuka pada tahun 1920. Mereka juga mendorong staff mereka untuk masuk agama Katolik. Dengan hasil dari pabrik mereka, keluarga Schmutzer mendirikan Ruma Sakit St Elisabeth Hospital di Ganjuran. Mereka juga mendirikan Onder de Bogen (kini Rumah Sakit Umum Panti Rapih) di kota Yogyakarta. St Elisabeth sedang diurus oleh Orda Carolus Borromeus.

Juga pada tahun 1920, Pr. van Driessch, seorang Yesuit yang pernah mengajar di Kolese Xaverius di Muntilan, mulai berkhotbah di Ganjuran dan mendirikan komunitas Katolik di sana. Hingga tahun 1922 ada sebanyak 22 orang Katolik keturunan Jawa di sana; jumlah ini meningkat dengan cepat. Pada tanggal 16 April 1924 keluarga Schmutzers mendirikan gereja di tanaklh mereka, dengan van Driessch sebagai pastor pertama. Ukiran dan bagian gereja lain dikerjakan oleh seorang seniman Jawa yang bernama Iko

Tiga tahun kemudian masyarakat mulai membangun sebuah candi setinggi 10 meter, mirip candi yang ada di Prambanan; Iko membuat patung Maria dan Yesus yang menggambarkan mereka sebagai penguasa dan guru Jawa. Patung ini diukir dengan motif batik.Batu diambil dari kaki Gunung Merapi di bagian utara, sementara pintu masuk diarahkan ke Selatan; orientasi ini mencerminkan kepercayaan orang Jawa pada harmo,ni utara dan selatan. Candi ini diresmikan pada tanggal 11 Februari 1930 oleh Uskup Batavia Antonius van Velsen.

Van Driessch meninggal pada tahun 1934 dan diganti oleh Pr. Albertus Soegijapranata; Soegijapranata bertugas sekalian sebagai pastor Ganjuran dan Bintaran. Pada tahun ini jumlah orang Katoliknya sudah mencapai 1.350 orang. Keluarga Schmutzer kembali ke Belanda pada tahun yang sama. Selama Revolusi Nasional Indonesia pabrik gula dibakar habis, tetapi sekolah, gereja, dan rumah sakit selamat. Pada tahun 1947 Pr. Justinus Darmojuwono mulai menjabat; dia menjadi pastor sampai tahun 1950.

Pada tahun 1981 pastoran diperluas di bawah Pr. Suryosudarmo, dan tujuh tahun kemudian, di bawah Pr. Gregorius Utomo, gereja ini mulai lebih menekankan pengaruh Jawanya. Pada tahun 1990 Konferensi Federasi Uskup Asia mengadakan sebuah seminar mengenai masalah pertanian dan petani di Gereja Ganjuran. Sejak 1995 Gereja lebih menekankan pembangunan candinya, dan dengan sumbangan dari masyarakat sudah menambahkan 15 relief yang menggambarkan Jalan Salib; relief ini awalnya dirancang oleh keluarga Schmutzer. Setelah gereja lama dihancurkan oleh gempa bumi besar pada bulan Mei 2006, gereja ini dibangun ulang dengan gaya Jawa.Pembangunan ulang ini menghabiskan sebanyak Rp 7 miliar.

Link Unduh Video Sejarah Gereja dan Candi Ganjuran

Kraton Jogjakarta


Screenshot Studio capture #439

Sampai daerah divisi disetujui dalam Perundingan Gijanti, kerajaan Mataram yang didirikan Pangeran Senopati pada tahun 1587, merupakan kekuatan yang dominan di Jawa Tengah. Kerajaan Mataram berpindah lokasi beberapa kali selama pemerintahan Senopati dan keturunannya, dan pada tahun 1745 berada di Surakarta (Solo)

Sebagai kelanjutan dari pertikaian yang terjadi di antara pemerintah Surakarta, Pakubuwono III dan paman tirinya, Pangeran Mangkubumi, pemerintah Belanda menengahi dengan menyetujui perjanjian yang isinya mengangkat Mangkubumi sebagai pemimpin kerajaan terpisah, tetapi memiliki kekuasaan yang sama, yang berpusat di Yogyakarta. Mangkubumi, yang memakai gelar Hamengkubuwono I, pada tahun 1756, membangun istana yang besar bernama Ngayogyakarta Hadiningrat.

English: "Pagelaran", the front hall...

English: “Pagelaran”,
the front hall of Kraton of Yogyakarta, Indonesia. The hall facing
“Alun-alun Lor” or nothern city square. The hall is a multipurpose
building. (Photo credit: Wikipedia)

Kraton berada di lokasi yang sangat luas, yang karena luasnya dapat digambarkan sebagai kota tertutup. Selain ada bnagunan di dalamnya, daerah ini dikelilingi oleh dinding yang kokoh seperti benteng dan dibangun pada tahun 1785, untuk daerah yang tertutup tersebut dibangun tempat para pegawai kerajaan, abdi dalem, para keluarga bangsawan lainnya yang kurang terkenal di lingkungan kraton. Tempat ini sekarang terdiri atas desa-desa di dalam kraton tempat berpangkalnya seniman dalam gang-gang sempit yang berprofesi sebagai pembuat batik dan pelukis.

Kraton terdiri atas beberapa bangunan, dinding, da taman, yang tersusun dari utara ke selatan dan mempunyai alun-alun di kedua akhir bangunan. Pendopo utama dan ruang singasana, bangsal kencono, yang terletak di tengah kraton, mempunyai atap joglo, yang disangga oleh tiang berukir. Di belakang Pendopo terdapat Bangsal Proboyekso tempat disimpannya benda pusaka kraton. Di seberang Bnagsal Proboyekso terdapat tempat keluarga kerajaan, yang didiami oleh Sultan yang sekarang. Tempat ini tertutup untuk umum. Kesantrian, tempat tinggal pangeran pangeran yang belum menikah, terletak di bangunan yang laus di belakang kandang kuda.

Di belas tempat kereta kraton, yang terletak di pinggir taman utama, terdapat koleksi kereta-kereta kerajaan dan kendaraan lain yang ditarik kuda, term

asuk kereta jenasah kerajaan yang terbuat dari kaca. Koleksi peralatan kerajaan yang lengkap dan benda-benda kraton, yang terdapat di Musium Sono Budoyo di sudut barat laut dari alun-alun utara, dibangun pada tahun 1935 oleh Hamengkubuwono VIII. Di bagian barat alun-alun terdapat Mesjid Ageng, yang dibangun pada tahun 1773.

Di taman utama kraton terdapat pasir hitam dari pantai selatan Jawa, yang dotaruh untuk menghormati Nyai Loro Kidul, Raty Laut Selatan, yang izinnya dianggap prasyarat untuk membangun kraton. Hubungan dengan Nyai Loro Kidul ini terlihat lebih jelas di bangunan Taman Sari, yang dibangun oleh Hamengkubuwono I sebagai taman yang nyaman untuk tempat beristirahat.

Read the rest of this entry

Kisah Tokoh Alm. Ki Timbul Hadiprayitno


Ki Timbul Hadiprayitno lahir di Bagelen, Purworejo, pada 20 Juni 1934. Agamanya adalah Islam. Pendidikannya hanya sampai SR saja. Ia mempunyai 6 orang anak yang semuanya adalah dalang kecuali 1 orang putri. Ia adalah dalang yang terkenal dari Yogyakarata.

Sejak kecil ia telah belajar mendalang yang diperoleh dari orang tuanya. Timbul juga belajar kepada siapapun, antara lain kepada Ki Wiji Prayitno (ayah dari Hadi Sugito): Ki Kasmono, Kulon Progo tentang Sanggit; Ki Gondo Margono belajar mengenai sulukan; Ki Bancak tentang sabetan; dan Ki Narto tentang antawacana.

Beberapa kali ia terpilih sebagai dalang kesayangan oleh Radio-radio Swasta Niaga pada dekade 1980. Dari Keraton Kasultanan Yogyakarta, Ki Timbul mendapat anugerah nama Cermomanggolo. Awal tahun 1990, sebuah perusahaan multinasional, Mobil Oil, membuat proyek video mengenai pergelaran Wayang Kulit Purwo, Ki Timbul terpilih menjadi dalangnya karena dinilai sebagai dalang yang klasik.

Dalam garap pakeliran Ki Timbul sangat kuat dalam garap sabet, garap catur dan garap lakon. Ia juga mahir dalam mempergelarkan lakon-lakon banjaran yaitu cerita tentang riwayat hidup tokoh wayang. Dalam pergelaran wayang Timbul berusaha untuk menampilkan lakon, sanggit, sabet, dan gecul secara seimbang. Disamping itu, ia adalah dalang yang teguh dalam mempertahankan tradisi. Ki Timbul berani menolak jika penanggap menghendaki hadirnya bintang tamu. Dalam tradisi meruwat di kalangan masyarakat Jawa, Ki Timbul Hadiprayitno adalah salah satu dalang yang dituakan dan mampu untuk melaksanakan prosesi sakral tersebut. Kemampuan itu tidak banyak dimiliki oleh dalang-dalang lain.

Sebagai dalang terkenal Ki Timbul mempunyai jangkuan pentas yang luas, baik di dalam kota, propinsi, di luar Jawa, bahkan sampai keluar negeri. Frekuensi pentasnya dalam satu bulan sangat padat sekali, jika sedang ramai dalam satu bulan bisa lebih dari 40 undangan jika dituruti semuanya. Mengenai tarif dalam mendalang Timbul masih memberikan kelonggaran terhadap siapa yang menanggapnya. Untuk tarif di dalam kota dimana ia tinggal biasanya 10 juta cukup memadai.

Mengenai lakon yang menjadi favoritnya adalah menyesuaikan dengan trend masyarakat yang menanggap. Timbul pernah membuat sanggit lakon sendiri, yang kebanyakan adalah cerita tentang wahyu, antara lain: Wahyu Harjadah, Wahyu Kembang Slombo, Wahyu Panca Purbo, dan Wahyu Mustika Haji. Timbul memiliki kelomok karawitan sendiri, yang bernama Marsudi Budaya, jumlah anggaotanya kurang lebih 30 orang. Ia juga menulis buku-buku tetapi untuk kepentingan pribadi, antara lain mengenai lakon-lakon pedalangan, dan sulukan-sulukan.

Mengenai kiatnya menjadi dalang tenar adalah belajar baik secara lahir yaitu, kemampuan teknis pedalangan, membaca buku-buku pedalangan dan sumber-sumber lain. Dan secara batin, antara lain menjaga tingkah laku, antara ucapan dan tindakan harus sesuai.

Kisah lengkap silahkan dengarkan rekamana ini..

Mengenal Tokoh Pejuang Indonesia 1 – Mgr. Albertus Soegijapranata


Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ (Ejaan Yang Disempurnakan: Albertus Sugiyapranata; lahir 25 November 1896 – meninggal 22 Juli 1963 pada umur 66 tahun), lebih dikenal dengan nama lahir Soegija, merupakan Vikaris Apostolik Semarang, kemudian menjadi uskup agung. Ia merupakan uskup pribumi Indonesia pertama dan dikenal karena pendiriannya yang pro-nasionalis, yang sering disebut “100% Katolik, 100% Indonesia”.

Soegija dilahirkan di Surakarta, Hindia-Belanda, dari keluarga seorang abdi dalem dan istrinya. Keluarga Muslim itu lalu pindah ke kota Yogyakarta saat Soegija masih kecil, dan, karena diakui sebagai anak yang cerdas, pada tahun 1909 Soegija diminta oleh Pr. Frans van Lith untuk bergabung dengan Kolese Xaverius, suatu sekolah Yesuit di Muntilan. Di sana Soegija menjadi tertarik dengan agama Katolik, dan dibaptis pada tanggal 24 Desember 1910. Setelah lulus dari Xaverius pada tahun 1915 dan menjadi seorang guru di sana selama satu tahun, Soegija menghabiskan dua tahun belajar di seminari di Muntilan sebelum berangkat ke Belanda pada tahun 1919. Ia menjalani masa pendidikan calon biarawan dengan Serikat Yesus selama dua tahun di Grave; ia juga menyelesaikan juniorate di sana pada tahun 1923. Setelah tiga tahun belajar filsafat di Kolese Berchmann di Oudenbosch, ia dikirim kembali ke Muntilan sebagai guru; ia bekerja di sana selama dua tahun. Pada tahun 1928 ia kembali ke Belanda untuk belajar teologi di Maastricht, dan ditahbiskan pada tanggal 15 Agustus 1931. Setelah itu Soegija menambahkan kata “pranata” di belakang namanya. Pada tahun 1933 Soegijapranata dikirim kembali ke Hindia-Belanda untuk menjadi pastor.

Soegijapranata memulai keimamannya sebagai vikaris paroki untuk Pr. van Driessche di Paroki Kidul Loji, Yogyakarta, tetapi diberi paroki sendiri setelah Gereja St. Yoseph di Bintaran dibuka pada tahun 1934. Dalam periode ini ia berusaha untuk meningkatkan rasa ke-Katolikan dalam masyarakat Katolik dan menekankan perlunya hubungan yang kuat antara keluarga Katolik. Pada tahun 1940 Soegijapranata dikonsekrasikan sebagai vikaris apostolik dari Vikariat Apostolik Semarang, yang baru didirikan. Meskipun jumlah pemeluk Katolik meningkat setelah ia dikonsekrasikan, Soegijapranata harus menghadapi berbagai tantangan. Kekaisaran Jepang menduduki Hindia-Belanda pada awal tahun 1942, dan selama periode pendudukan itu banyak gereja diambil alih dan banyak pastor ditangkap atau dibunuh. Soegijapranata bisa lolos dari kejadian ini, dan menghabiskan periode pendudukan dengan mendampingi orang Katolik dalam vikariatnya sendiri.

Setelah Presiden Soekarno memproklamasi kemerdekaan Indonesia, Semarang dipenuhi dengan kekacauan. Soegijapranata membantu menyelesaikan Pertempuran Lima Hari dan menuntut agar pemerintah pusat mengirim seseorang dari pemerintah untuk menghadapi kerusuhan di Semarang. Biarpun permintaan ini ditanggapi, Semarang menjadi semakin rusuh dan pada tahun 1947 Soegijapranata pindah ke Yogyakarta. Selama revolusi nasional Soegijapranata berusaha untuk meningkatkan pengakuan Indonesia di dunia luas dan meyakinkan orang Katolik untuk berjuang demi negera mereka. Tidak lama setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, Soegijapranata kembali ke Semarang. Dalam periode pasca-revolusi ia banyak menulis mengenai komunisme dan berusaha untuk mengembangkan pengaruh Katolik, serta menjadi perantara beberapa faksi politik. Pada tanggal 3 Januari 1961 ia diangkat sebagai uskup agung, saat Tahta Suci mendirikan enam provinsi gerejawi di wilayah Indonesia. Soegijapranata bergabung dengan sesi pertama dari Konsili Vatikan II. Ia meninggal pada tahun 1963 di Steyl, Belanda dan jenazahnya diterbangkan kembali ke Indonesia. Ia dijadikan seorang Pahlawan Nasional dan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal, Semarang.

Soegijapranata sampai sekarang dihormati orang Indonesia, baik pemeluk Katolik maupun bukan. Berbagai biografi tentang ia sudah ditulis oleh berbagai penulis, dan pada tahun 2012 sebuah film biopik fiksi garapan Garin Nugroho, yang diberi judul Soegija, diluncurkan. Universitas Katolik Soegijapranata, sebuah universitas di Semarang, dinamakan untuk Soegijapranata.

SOEGIJA
Dra M. Henricia Moeryantini CB dalam bukunya berjudul ‘Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ’, (Nusa Indah, Ende, 1975). mengungkapkan bahwa masa kecil Monsigneur tidak jauh dengan bocah laki-laki pada umumnya. Ia seorang anak laki-laki yang lincah, senang bermain bola, dan berkelahi. Soegija (nama kecil Soegijapranata) lahir dalam sebuah keluarga Karijosoedarma, abdi dalem Kraton Surakarta pada tanggal 25 November 1896.
Soegija sendiri dilahirkan di Surakarta, anak kelima dari 9 bersaudara. Ayahnya selalu mengajarkan Soegija tentang seni tradisional, terlebih berkaitan dengan kebijaksanaan hidup lewat kesenian. Dia juga belajar gamelan, tetapi sama sekali tidak bersedia belajar menari. “Sejak kecil pemuda Soegija sudah pandai memukul gamelan dan mempunyai minat besar terhadap kebudayaan Jawa.”, ungkap Suster Henricia. Sementara ibunya selalu mengajarkan Soegija tentang arti keluhuran budi, hidup sederhana serta tahu sopan santun. Hal itu diperolehnya dari pengajaran bahasa Jawa dengan penggunaan kaidah-kaidah yang memperhatikan tingkatan-tingkatan tertentu dari lawan bicara Soegijaparanata muda juga terkenal sebagai seorang anak yang pemberani. Mulai dari anak-anak pribumi sampai anak-anak sinyo Belanda siap dihadapinya. Jenis perkelahiannya pun beragam, ada yang perorangan, kroyokan, atau model perkelahian elegan dengan sarana bertanding sepakbola. Bahkan, anak-anak Katolik pun sering diganggun atau diejek, maklum Soegija kala itu belum menjadi Katolik. Baru-baru setelah beberapa tahun bersekolah di Muntilan, Soegija dibaptis dengan nama baptis Albertus.
Karir pekerjaannya diawali pada tahun 1915 dengan menjadi guru di Muntilan. Tahun 1911, ia mulai mengikuti pendidikan imam dan berlanjut terus hingga pada tanggal 27 September 1920 ia masuk ke novisiat Sarekat Yesus. Dan pada tanggal 15 Agustus 1931 ia resmi menjadi imam. Sekembalinya ke Indonesia, tahun 1933, ia mendapat tugas untuk menjadi Pastor Pembantu Paroki Bintaran Yogyakarta. Ia juga sempat menjadi redaktur majalah Swara Tama. Pada tahun 1938, ia diangkat menjadi penasehat misi Sarekat Yesus di Jawa. G. Budi Subanar, SJ dalam bukunya berjudul Soegija-Si Anak Betlehem van Java (Yogyakarta: Kanisius, 2003) mencatat bahwa disamping mengajar, Soegija antara lain bertugas mendampingi para murid dengan aktifitas yang mengembangkan kecintaan terhadap budaya seperti menabuh gamelan dan menari.
Di area kebangsaan, jasanya cukup perhitungan. Ia termasuk dalam jajaran pahlawan. Mengingat jasanya sebagai pribadi yang mempunyai peran dalam usaha genjatan senjata untuk mengakhiri Perang Lima Hari di Semarang.
SOEGIJAPRANATA USKUP PRIBUMI PERTAMA
Tanggal 3 Agustus 1940, Hardjosoewarno, yang kala itu karyawan Pastoran Bintaran Yogyakarta, sudah selesai menyiapkan semangkok soto untuk Monsigneur Albertus Soegijapranata, SJ. Wajahnya tampak kebingungan melihat Rama Soegija yang asyik menikmati soto buatannya. Namun kebingungannya akhirnya sirna setelah Studio Radio Yogyakarta MAVRO menyiarkan berita bahwa semenjak tanggal 1 Agustus 1940 Monsigneur resmi diangkat menjadi Vikaris Apostolik Semarang. Tidak hanya Hardjosoewarno dan istrinya yang bergembira, tetapi umat Katolik juga ikut merasakan kegembiraan tersebut.
Namun justru sejak peristiwa kehormatan itulah, Uskup pribumi pertama ini membawa beban yang cukup berat untuk menyebarkan misi cinta kasih Kerajaan Allah. Kala itu, jumlah orang Katolik sebanyak 44.170 orang. 35,31 % adalah orang Eropa. Selain itu, Vikariat Semarang baru mempunyai rohaniawan/rohaniawati pribumi yang jauh lebih sedikit daripada rohaniawan/rohaniawati yang berasal dari Eropa. Saat itu hanya terdapat 11 imam, 34 bruder, serta 79 suster pribumi. Sementara yang berasal dari Eropa, terdapat 73 imam, 251 suster, dan 103 bruder.
Apalagi kondisi saat itu Indonesia masih jauh dari kata kemerdekaan. Baru selang dua tahunnya memangku jabatan Vikaris, pada tahun 1942, Jepang menduduki tanah Indonesia. Tidak sedikit bangunan-bangunan untuk karya misi diambil alih Jepang. Sumber-sumber pendapatan pun dimatikan. Lebih parahnya lagi, banyak-banyak awam Katolik mulai meninggalkan iman Katoliknya. “ …. Mgr Soegija tentu saja kehilangan sebagian terbesar dari pembantu-pembantunya, dan dengan hanya segelintir pembantu-pembantu pribumi karya Gereja harus diteruskan,” tulis Suster Suster Henricia.
PENDAMPINGAN ROHANI
Peranannya untuk membina klerus-klerus pribumi memang cukup besar, terlebih semenjak 25 orang misionaris dari Jawa Tengah meninggal di dalam penjara (1942-1945), 8 orang misionaris yang meninggal pada peristiwa ‘Pembantaian Pastoran Magelang’ (1 November 1945), dan terbunuhnya Rama Sandjaja dan Frater Bouwens pada tanggal 20 Desember 1948. Ia sering berkunjung ke Seminari Tinggi. Tidak hanya mensensus peminat klerus yang masuk di Seminari Tinggi, tetapi juga memberi pendampingan secara pribadi kepada calon-calon imam. Selain pendampingan rohani, ia juga berusaha untuk membangun suasana kekeluargaan di antara para calon imam tersebut.
Tidak hanya calon imam pribumi yang diperhatikannya. Tahun 1951, berdirinya biara kedua Kongregasi SusterSuster Abdi Dalem Sang Kristus (ADSK) di Wedi Klaten sebagai bukti kepeduliannya terhadap rohaniawati. Dan roh seorang juru taman ini terus memberi semangat komunitas suster ini untuk terus melebarkan sayap. Begitu juga yang dilakukannya terhadap Kongregasi Bruder Rasul yang pada kala itu mengalami jatuh bangun untuk mempertahankan eksistensi.
Kehidupan rohani awam Katolik juga tak luput dari garapannya. Komunitas-komunitas Legio Maria mulai diaktifkan. Kursus-kursus penyegaran untuk para katekis atau pembina iman terus diperbanyak supaya muncul katekis-katekis yang bermutu. Ia juga memberi perintah bagi para imam untuk selalu mempersiapkan kotbahnya sebelum perayaan ekaristi. Sehingga mungkin tepat jika Sr Henricia dalam bukunya bertanya “…mungkinkah kita dapat mengadakan semacam inventarisasi mengenai apa yang telah dilakukan dan dikerjakan oleh Monsigneur?”.
Menjelang akhir hidupnya, ia masih saja menyempatkan diri untuk melayani umatnya. Sempat ia memberi Sakramen Penguatan di Promasan-Plasa dengan menggunakan tandu. Selain itu, ia juga sempat menjadi anggota Panitia Persiapan Konsili Vatikan II. Pada tanggal 22 Juli 1960 pukul 22.00 di biara St Jusup Tegelen, ia dipanggil untuk menghadap Tuhan.
Suster Henricia di dalam bukunya mengutip salah satu surat Mgr. Soegijapranata, SJ guna mendorong kelestarian gereja. Berikut kutipannya, “…. Karena umat Katolik Vikariat Semarang masih ragu dalam membina kehidupan Katolik, maka para gembala diminta agar bersikap sebagai bapa yang penuh kasih dan ibu yang sejati, agar adat kebiasaan bangsa yang baik yang tidak bertentangan dengan iman Katolik dibiarkan hidup subur, bahkan dipupuk agar umat menjadi orang Katolik yang utuh, yang sadar akan kewajiban mereka sebagai rasul di manapun mereka berada.”
PASUKAN SEKUTU MASUK LAGI
Kiprah Mgr. Soegijapranata dalam pembentukkan bangsa dan negara ini dicatat khusus oleh sejarawan Dr. Anhar Gonggong dalam bukunya berjudul Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ-Antara Gereja dan Negara (Jakarta: Grasindo, 1993). Walaupun pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia telah menyatakan kemerdekaan, tetapi ada beberapa pihak yang tidak mau menerima kenyataan kalau bangsa Indonesia sudah menyatakan kemerdekaannya, pihak-pihak yang tidak mau menerima kenyataan adalah pihak Belanda dan pihak Jepang, pihak Jepang tidak mau menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada pemerintah Indonesia.
Lalu para pemimpin pemerintahan dan generasi muda akan mengambil alih pemerintahan dari tangan Jepang. Tetapi jepang mengancam akan melakukan tindakan kekerasan jika para pemimpin bangsa dan generasi muda terus melanjutkan niatnya. Walaupun diancam, tetapi pihak pemerintahan dan pemuda Indonesia selalu berusaha untuk dapat mengambil alih pemerintahan dari tangan Jepang. Oleh karena itu, muncul pertentangan yang kadang mengakibatkan pertikaian dan pertumpahan darah anata pihak Jepang dan Indonesia. Jepang sebagai negara yang kalah perang wajib untuk mematuhi peraturan yang telah ditentukan oleh pihak pemenang dalam hal ini adalah pihak sekutu.
Pada bulan September 1945 pasukan sekutu berangsurangsur tiba di indoesia dan mengambil alih kekuasaan dari Jepang. Setibanya di Indonesia pasukan sekutu langsung menguasai kota-kota besar yang ada di Indonesia. Mereka juga berusaha untuk memperkuat kedudukannya di Indonesia, mereka juga melakukan tindakan-tindakan provokasi dengan tujuan untuk memancing kerusuhan di kota-kota yang ada di Indonesia dan sesuai dengan tugasnya pada tanggal 20 Oktober 1945.
Akhirnya, pasukan sekutu mendarat di Semarang. Seperti di tempat-tempat lain kedatangan psaukan sekutu juga diboncengi oleh pasukan Belanda NICA. Hal itu akhirnya diketahui oleh para pemuda Indonesia hal ini menjelma menjadi sebuah suasana yang tegang yang menyulut pertempuran antara kedua belah pihak.
KIBARKAN MERAH PUTIH
Suasana dan kondisi yang sulit juga menjadi perhatian Mgr. Soegijapranata sebagai warga negara sekaligus kepala hierarki gereja Vikariat Semarang. Mgr. Soegijapranata berusaha untuk mengambil bagian guna menciptakan suasana yang menguntungkan bagi pejuang Indonesia. Setelah mendengar bahwa bangsa Indonesia telah merdeka, beliau mengibarkan bendera merah putih di depan gedung pastoran Gedagang, Semarang. Sejak saat itu pastoran gedawang selalu dihiasi dengan bendera merah putih. Karena hal tersebut Mgr. Soegijapranata pernah mendapatkan teguran dari pimpinan NICA. Teguran itu dijawab bahwa pimpinan NICA tidak pernah mengeluarkan larangan pengibaran bendera merah putih. Mgr. Soegijapranata juga menantang kepada pimpinan NICA dengan mengatakan bahwa kalau kamu ingin bendera itu turun, coba datanglah kembali dan rebutlah kekuasaan di sini.
PERTEMPURAN LIMA HARI
Dalam pertempuran lima hari di Semarang, Mgr Soegijapranata semarang medapatkan kabar dari para pemuda bahwa kondisi rakyat di medan pertempuran sangat menyedihkan. Seperti, bayi-bayi yang menderita karena air susu ibunya sudah mengering, mereka sudah beberapa hari tidak makan. Oleh Mgr Soegijapranata, penderitaan ini kemudian dikabarkan kepada komandan-komandan pasukan yang hadir di pastoran Gedagang-Semarang, ia juga mendesak kepada para kepada kedua belah pihak untuk menghentikan pertempuran yang telah menimbulkan penderitaan. Karena desakan tersebut maka dilakukannya perundingan dan akhirnya tercapai kesepakatan banwa dihentikan tembak-menembak anata kedua belah pihak.
Sebuah pertempuran selalu membawa penderitaan bagi kehidupan rakyat dalam kondisi yang buruk ini terjadi kekurangan pangan muncul orang-orang yang melakukan perampokan dan berbagai kejahatan lainnya. Melihat situasi yang tidak tentu ini maka muncullah insiatif dari Mgr. Soegijapranata untuk mengirimkan utusanya ke Jakarta menemui pemerintahan Indonesia diantaranya Perdana Mentri Sultan Syahrir. Kepada Perdana Menteri, utusannya Mgr. Soegijapranata menjelaskan kondisi yang sebenarnya tentang penderitaan rakyat di Semarang. Atas usaha-usaha yang dilakukan oleh Mgr Soegijapranata membawa dampak positif dan akhirnya pemerintah pusat mengirimkan utusannya untuk meninjau keadaan kota Semarang serta mengembalikan kondisi pemerintahan yang teratur.
PINDAH KE PUSAT PERJUANGAN DI YOGYAKARTA
Walaupun kota Semarang memiliki pemerintahan yang telah dibangun, tetapi pasukan sekutu juga tidak henti-hentinya melakukan tindakan intimidasi, terror dan pembunuhan keji. Kondisi ini yang sama juga dihadapi oleh pemerintahan di Jakarta. Situasi yang penuh dengan terror ini menyebabkan terganggunya pemerintahan yang telah dibangun di Jakarta. Oleh karena Jakarta tidak dapat dipertahankan sebagai ibukota Negara Republik Indonesia maka Ibukota negara dipindah ke Yogyakarta. Masyarakat Yogyakarta menyambut hangat pemindahan ini.
Sejalan dengan itu maka pada tanggal 4 Januari 1946 tibalah Bung Karno dan Bung Hatta di Yogyakarta. Sementara itu keadaan di kota Semarang menjadi semakin genting menghadapi situasi yang tidak menentu. Mgr Soegijapranata tidak menyingkir namun ia berusaha untuk menentramkan kondisi di Semarang. Ia tidak menghiraukan adanya tuduhan” penghianatan” terhadap mereka yang tidak mau menyingkir. Mgr. Soegijapranata mengatakan bahwa mereka yang meninggalkan kota adalah mereka yang penghianat. Alasannya untuk tidak meninggalkan kota karena adanya tanggungjawab yang ia emban. Namun dalam perkembangannya selanjutnya, keinginan untuk tetap tinggal di Semarang tidak dapat ia pertahankan.
Pada tahun 1946 sebagai tahun kepindahan pusat pemerintahan Indonesia dari Jakarta di yogyakarta diikuti juga oleh Mgr Soegijapranata dengan ikut berpindah ke Yogyakarta. Anhar Gongong menyebutkan bahwa sebagai seorang nasionalis, Mgr. Soegijapranata telah mengambil keputusan yang menguntungkan bangsa dan tanah airnya. Keuntungan kepindahannya ke Yogyakarta adalah Mgr Soegijapranata akan dapat berkomunikasi dengan para pemimpin yang ada di Yogyakarta. Dengan mengikuti kepindahan Ibukota negara, Mgr. Soegijapranata tetap dapat menjalin komunikasi dengan Presiden Soekarno.
Pertentangan antara Republik Indonesia dan Belanda semakin meruncing bahkan sampai ke agresi militer Belanda pertama. Tindakan agresor Belanda menimbulkan reasi yang keras baik di dalam dan di luar negeri.
SIKAP PATRIOTIS
Dalam situasi yang genting Mgr Soegijapranata menunjukkan sikap patriotisnya melalui reaksi yang diperlihatkannya untuk menentang tindakan agresor yang dilakukan oleh Belanda. Ini jelas terlihat dalam pidatonya yang mengajak kepada bangsa Belanda khususnya yang beragama katolik dan bergabung dalam Partai Katolik Belanda dengan meninggalkan sikap bermusuhan dengan bangsa Indonesia. Sedangkan pesan untuk bangsa Indonesia adalah bersama dengan mereka bahu membahu guna mencapai tujuan yang dicita-citakan yaitu kemerdekaan.
Jan Bank (dalam bukunya berjudul: Katolik di Masa Revolusi Indonesia, Jakarta: Grasindo, 1999) mencatat bahwa dalam pidato radio lewat pemancar Republik, Uskup Soegijapranata menyatakan bahwa agresi militer Belanda yang intensif itu, yang diumumkan sebagai agresi militer tetapi dilaksanakan dengan cara perang atau militer, mendatangkan kesusahan dan penderitaan kepada beribu-ribu orang. Guna mencapai tujuan yang dicita-citakan dalam merebut kemerdekaan, sejumlah prinsip-prinsip dasar yang telah diletakkan Mgr. Soegijapranata dicatat Tim UNIKA dalam bukunya, Semanfat dan Perjuangan Mgr. Albertus Soegijapranata SJ (UNIKA, 2002). Prinsip-prinsip yang dimaksud seprti kecintaan kepada Gereja dan Tanah Air; Prinsip kesatuan, Kebebasan dan Kasih hingga pemihakan pada orang miskin.
Mgr Soegijapranata juga menunjukkan sikap kesetiakawanan dan rasa persahabatan dengan keluarga Bung Karno. Ini ditunjukkan dengan mengurus segala keperluan keluarga Bung Karno selama mereka ada di pembuangan. “Ketika Soekarno, pemimpin Republik, pada masa agresi kedua diahan oleh tentara Belanda, dan dalam bukan Desember 1948 disekap di Parapat-Sumatera Utara, Mgr. Soegijapranata secara pribadi melindungi keluarga Presiden (Huub JWM Boellars, Indonesia-Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia: Yogyakarta, Kanisius, 2005).
Mgr. Soegijapranata yang sejak tanggal 26 Juli 1963 diangkat menjadi Tokoh Nasional oleh Presiden Soekarno telah meletakkan dan membuktikan dirinya ikut membangun semangat kebangsaan.

 

Film “Satu Suro 1988”


Di awal film, di tengah sebuah hutan, arwah seorang wanita yang gentayangan berwujud sundel bolong dibangkitkan dari kuburannya oleh Ki Rengga, seorang dukun Jawa sakti untuk dijadikan anak angkatnya. Dukun Jawa itu berkata: “Suketi, manuta nduk, kowé arep takdadikké anak angkatku.” (“Suketi, menurutlah nak, engkau akan kujadikan anak angkatku”). Dia kemudian menancapkan paku keramat ke kepala Suketi (Suzanna), arwah penasaran tersebut, merapal mantera kuna berbahasa Jawa dan sundel bolong itu pun menjadi manusia kembali. Suatu hari dua orang pemuda dari Jakarta sedang berburu kelinci di hutan tersebut. Bardo Ardiyanto (Fendi Pradana), sang pemburu tersebut, bersama temannya Hari, nyaris membunuh buruannya, namun dihalangi oleh seorang wanita cantik, dia pun penasaran akan wanita tersebut dan akhirnya bertemu dengan Suketi. Bardo dan Suketi langsung saling jatuh cinta dan Bardo berniat melamar Suketi. Awalnya lamarannya ditolak oleh Ki Rengga, ayah angkat Suketi, namun akhirnya disetujui setelah permohonan Bardo yang tulus dan dorongan Suketi ke orang tua angkatnya. Bardo mengikuti syarat Ki Rengga, bahwa pernikahan harus diadakan pada “Malam satu Suro” (Tanggal 1 Sura, tahun baru dalam penanggalan Jawa) di tengah Alas Roban (“Hutan Roban”) tanpa dihadiri siapa pun kecuali sang dukun Jawa dan pasangan pengantin tersebut dalam sebuah adegan ritual mistik Jawa kuna yang diiringi tari-tarian peri.

Beberapa tahun kemudian Suketi dan Bardo hidup berkeluarga dengan bahagia di Jakarta dengan kedua anak mereka, Rio dan Preti. Keluarga mereka juga menjadi kaya raya karena konon bila menikahi Sundel bolong maka seseorang akan menjadi kaya raya. Suatu hari Joni, seorang pengusaha licik menawarkan perjanjian bisnis di kantor Bardo, namun ditolak karena taktiknya yang kotor. Joni menyimpan dendam dan berniat menjatuhkan Bardo. Joni datang ke Mak Talo, seorang dukun lain, dan mengetahui bahwa istri bardo dulunya adalah Sundel Bolong. Mak Talo dan Joni mendatangi rumah Bardo dan mencabut paku yang menancap di kepala Suketi, sehingga Suketi berubah menjadi Sundel Bolong kembali. Malamnya Bardo yang kebingungan menemui mertuanya di Alas Roban dan mengetahui latar belakang Suketi yang sesungguhnya. Suketi dulunya adalah seorang wanita muda yang mati bunuh diri setelah diperkosa dan hamil, arwahnya tidak beristirahat dengan tenang dan menjelma menjadi hantu Sundel Bolong yang penuh dendam. Setelah membalas dendam, dia kemudian dibangkitkan kembali oleh Ki Rengga untuk menjadi anak angkatnya.

Suketi yang sekarang kembali menjadi Sundel Bolong sangat sedih karena kehidupannya yang telah bahagia bersama keluarganya dirusak. Situasi bertambah tegang ketika Preti kemudian diculik oleh kawanan penjahat Joni yang berkomplot dengan dukun Mak Talo. Komplotan Joni meminta uang tebusan, namun dalam prosesnya, Preti terbunuh secara tidak sengaja oleh salah satu penjahat. Suketi menjadi marah besar dan mengamuk setelah tahu bahwa anaknya terbunuh. Sundel Bolong Suketi mulai melangsungkan balas dendamnya kepada komplotan penjahat tersebut dengan cara-cara yang kejam namun unik.

Suketi yang sedih berniat untuk kembali ke keluarganya, dia bermain piano dengan menyanyikan lagu “Selamat Malam” Vina Panduwinata, sehingga Rio dan ayahnya terbangun. Mereka dengan sedih berpisah dengan Suketi dan menyatakan bahwa alam mereka berbeda. Suketi kemudian berkata “Arwahku akan gentayangan sebelum dendamku terbalas” sebelum pergi. Suketi yang dirundung duka dan dendam kemudian menggali kuburan anak perempuannya, memasukkan jasad Preti ke sebuah peti mati bersama boneka kesayangan Preti, kemudian berjalan perlahan dengan menyeret peti mati tersebut dalam sebuah adegan yang diinspirasi film koboi Itali Django. Sundel Bolong Suketi kemudian mulai mengganggu masyarakat di sekitar kuburan tersebut dalam adegan-adegan yang seram namun lucu, yang pertama adalah seorang tukang bakpau Tionghoa-Indonesia yang sedang pulang dari berjualan. Korban keduanya adalah penyanyi dangdut Bokir yang berdandan ala John Lennon dan pengawal pribadinya Dorman Borisman yang dipancing untuk menyanyikan lagu “Tembok Derita” di kuburan. Setelah Bokir dan Dorman lari ketakutan, mereka kemudian meminta bantuan ojek dari seseorang yang tak lain adalah salah satu dari komplotan penjahat Joni. Bokir dan Dorman pingsan karena diikuti Sundel Bolong Suketi yang mengenal penjahat tersebut. Sundel Bolong Suketi kemudian membunuh satu persatu penjahat yang telah menghancurkan keluarganya. Akhirnya Suketi berhasil membalaskan dendamnya, bersamaan dengan sampainya Bardo, Rio, Ki Rengga dan masyarakat sekitar tempat tersebut. Dalam adegan sedih, Bardo dan Rio meyakinkan Suketi bahwa cintanya akan abadi walaupun Suketi kembali ke alamnya. Suketi menitipkan pesan kepada Bardo supaya menjaga Rio baik-baik, dan kepada Rio supaya kelak bisa menjadi orang yang berguna, dan Suketi menghilang diiringi kepulan asap kembali ke alam baka.

Nonton bisa disini

Yang mau download downloadlah idm, Kangen saya dengan film ini terpenuhi…

Salut dengan Suzzanna